Kamis, 17 Januari 2008

PUTRI INDONESIA DI SEPANG Rabu

PUTRI INDONESIA DI SEPANG Rabu, 28 Juni 2006 pukul 16:48:19 WIB
Pekan kemarin kita disuguhkan berita dan foto di berbagai media massa tentang aktivitas Putri Indonesia, Nadine Chandrawinata di Malaysia. Di negeri jiran itu, Nadine bukan ingin mempromosikan kebudayaan Indonesia melainkan menjadi ratu promosi ajang GP F1 Malasyia yang akan berlangsung di Sepang, Maret mendatang. Kok bisa?Bisa saja memang. Di era globalisasi dan perdagangan bebas seperti sekarang ini, cara-cara seperti itu sah-sah saja dilakukan. Nadine adalah alat promo cukup jitu sebuah perusahaan untuk menarik minat beli masyarakat Indonesia. Kita ibaratkan saja penyelanggara GP F1 Malaysia adalah sebuah perusahaan, sementara pecinta F1 di Tanah Air adalah pembeli tiket masuk ke sana. Bukan hanya sekedar membeli tiket perlombaan, tapi juga pembeli tiket pesawat terbang, penginap hotel, pejajan di restoran-restoran setempat, dan banyak kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan pecinta F1 Indonesia di sana. Jadi, sangat pas kalau pihak penyelenggara memakai Nadine sebagai alat promosinya.“Yang kami harapkan datang cuma 5.000 orang sementara penduduk Indonesia 200 juta. Jumlah yang kami harapkan itu sebenarnya nothing,” kata Datuk Mokhzani Tun Dr. Mahathir, Chairman SIC (Sepang International Circuit) kepada tabloid BOLA, saat beberapa wartawan mengunjungi Sepang bersama Nadine.Si datok boleh saja berbicara begitu. Tapi, itu adalah salah satu cara menggaet publik Indonesia untuk melancong ke ranah Melayu itu. Sekarang ini memang paling banter diharapkan 5.000 pengunjung. Tapi, pastilah kerja mereka tidak mau sia-sia. Lima tahun ke depan, mereka berharap lebih dari itu. Apalagi sepuluh tahun ke depan, nilai kembali investasi yang ditanam di Indonesia akan bertambah.
***Umpan sangat menentukan kalau kita ingin memancing ikan. Umpan kecil, ikan yang diperoleh paling-paling teri. Tapi, kalau mau dapat ikan kakap, umpannya harus besar.Nadine adalah umpan cukup besar yang dipakai oleh SIC. Meminjam kata-kata Yayasan Putri Indonesia, institusi yang menyelenggarakan pemilihan Putri Indonesia, bahwa dalam segala kegiatan Nadine setelah terpilih sebagai Putri Indonesia setahun ini mempunyai tujuan untuk mempromosikan kebudayaan-kebudayaan Indonesia di mata Internasional. Betapa penting perempauan asal Jakarta itu bagi kebudayaan Indonesia.Tapi, kenapa Nadine nyelonong menjadi duta promosi SIC? Salahkah dia? Atau kita yang bodoh? Bukankah kita juga punya gawe otomotif tingkat dunia A1, yang juga pantas dipromosikan oleh Nadine? Bagaimana dengan Departemen Pariwisata kita? Kenapa tidak langsung kontrak kepada Nadine umpamanya dengan harus melakukan kegiatan untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia, tidak ada kegiatan promosi perusahaan lainnya, apalagi membawa negara luar?Kalau sudah begini memang banyak pertanyaan bernada penyesalan. Sama juga ketika kita kehilangan pulau-pulau yang akhirnya kini dikuasai oleh Malaysia. Seperti pulau Sipadan dan Ligitan yang dikuasai Malaysia lewat hukum Internasional, padahal secara historis dan teori hukum Internasional dua pulau itu lama berada di kawasan Indonesia. Karena kita tidak pernah merawat dan menjaga pulau-pulau itu, akhirnya Malaysia dinyatakan menjadi pemenang. Padahal Malaysia menjaganya dalam waktu terakhir-terakhir saja.Kasus kepulauan Ambalat juga bisa sama nasibnya dengan Sipadan dan Ligitan. Mercusuar yang ada di sana lebih dulu didirikan oleh Malaysia. Setelah itu barulah Indonesia mengklaim dan mendirikan menara. Sampai sekarang Malaysia tidak mau mundur setapakpun, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah bertemu dengan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi.Serbuan bentuk lain, ini terjadi di kalangan hobies ternak ikan dan ayam. Kita bisa lihat bagaimana booming-nya ikan lou han dulu. Ikan itu berasal dari Malaysia. Bayangkan waktu serbuan itu terjadi sekitar tahun 2002-03, seekor ikan ada yang berharga sampai 5 juta seekor. Sekarang yang masih digandrungi dan harganya tetap tinggi adalah ayam “kate” serama yang berasal dari tetangga kita itu juga.
***Kita memang harus mengakui kini, Malaysia lebih baik dari negeri kita, khususnya tentu dalam pembangunan kesejahteraan rakyat, baik itu di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kekalahan negeri kita dari mereka sudah kelewat jauh. Tahun 1970-80 an, guru-guru kita banyak mengajar di sana. Sekarang sebaliknya, anak-anak muda kita banyak yang belajar ke sana. Belum lagi serbuan tenaga kerja kita ke sana untuk mengais rejeki, sudah berkisar 300.000 orang.Kita ambil positifnya saja. Silakan Nadine menjadi duta promosi SIC, namun di balik itu ia harus melihat ada pula pasar Indonesia di sana. Dia tetap dibekali untuk berpromosi Indonesia di sirkuit yang juga akan didatangi oleh pembalap, teknisi, maupun penonton dari luar Indonesia dan Malaysia. Berbondong-bondongnya pecinta F1 Tanah Air ke Malaysia, seperti juga para tenaga kerja kita, memberikan pemasukan devisa kepada negeri kita yang tidak sedikit.Di sepakbola, kita juga memiliki duta yang beraksi di Malaysia, yaitu Bambang Pamungkas, Elie Aiboi, Ilham Jayakesuma, dan Ponaryo Astaman. Dari mereka terdengar cerita-cerita manis soal Liga Malaysia, tidak seperti Liga Indonesia yang selalu dibumbui kerusuhan.Secara tidak langsung Bambang dkk. telah melakukan promosi negara. Kita harus dukung, apalagi mereka bisa menghibur tenaga kerja kita yang selalu memenuhi stadion saat mereka bertanding.Begitu pula dengan Rexy Mainaki yang kini menjadi pelatih tim bulutangkis Malaysia. Ia sudah menciptakan pebulutangkis-pebulutangkis tangguh, khususnya di sektor ganda yang telah banyak menumbangkan ganda-ganda kita dalam berbagai pertemuan. Dia juga menjadi duta bangsa dan memberikan pemasukan devisa bagi negara.Yang terpenting adalah pada diri kita yang ditinggal di sini. Mengejar terus ketertinggalan dan belajar dari setiap kekalahan. Untuk seterusnya maju dan menyalip Malaysia. Kita harus bekerja keras.Kalau tidak, kita akan “terbeli” terus. Bukan hanya tenaga kerja, pesepakbola, pelatih bulutangkis, pom bensin, Putri Indonesia, bisa-bisa negeri kita terbeli oleh encik-encik dari Malaysia.

Peraturan dan Tuan Rumah Baru di Formula-1 (1/2)

Peraturan dan Tuan Rumah Baru di Formula-1 (1/2)
TOYOTA Bertekad Memperbaiki
Di samping itu, perubahan juga diakui bisa mendorong meningkatnya persaingan. Dalam suasana semacam itu, semua tim pun seolah tidak menggubris perubahan peraturan. Faktanya, mereka justru mereka menyatakan lebih siap menyongsong lomba yang akan dimulai pada bulan ketiga 2004 di Australia.
Masihkah ada sisi lain yang menarik untuk disimak? Tentu saja masih ada. Misalnya, dengan kepindahan beberapa pembalap ke tim lain yang lebih menjanjikan. Perpindahan ini akan ditandai pula dengan pembuangan pembalap yang dianggap tidak potensial lagi.
Membicarakan lomba Formula 1 seakan tiada henti seperti halnya mengikuti kompetisi pertandingan sepak bola di manca negara. Fenomena pembalap yang beragam disertai karakteristik khusus, menjadi daya tarik tersendiri.
Perubahan peraturan yang paling tegas dilempar federasi olahraga otomotif internasional (FIA) untuk Formula 1 adalah, penggunaan satu mesin saja pada setiap akhir pekan, tepatnya untuk mengikuti babak kualifikasi. Mesin itu bahkan dipakai kembali untuk tujuan sama menjelang sesi berikutnya.
Alasan paling ideal menjalankan peraturan itu adalah menekan pembiayaan. Itu sebabnya direktur motorsport BMW, Mario Theissen setuju dengan peraturan baru yang diterapkan musim lomba tahun depan tersebut.
"Ini sangat bagus, karena sudah dibicarakan oleh seluruh pabrik penghasil mesin pada tahun lalu di Silverstone. Dan saya menyetujui pergantian regulasi itu," papar Theissen melalui sumber berita yang dihimpun Bisnis.
Dikemukakan, pada tahun depan kemungkinan pembalap yang berupaya mengganti mesin bisa saja diganjar FIA. Jika pergantian mesin harus dilakukan sebelum babak kualifikasi, hari Sabtu, maka ada kemungkinan pembalap akan kehilangan 10 posisi pada start.
Pada musim lomba tahun ini, beberapa tim mendapat otorisasi untuk menerima kesempatan mengganti mesin pada Sabtu dan Minggu. Misalnya melakukan pergantian komponen valve. Dengan tegas Theissen sebenarnya tidak setuju dengan hal tersebut.